Home » » Aku Terpaksa Menikahimu

Aku Terpaksa Menikahimu

Menikah karena paksaan orantua. Di rumah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuk basah diletakkan ditempat tidur, aku sebel melihatnya meletakkan sendok sisa susu diatas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku marah kalau ia menghubungiku hingga beberapa kali ketika aku sedang bersama temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak mempunyai anak. Akupun ber-KB dengan pil. Sampai suatu hari aku lupa minum pil dan meskipun dia tahu ia membiarkannya. Itulah marah terbesarku padanya. Kemarahanku bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar karena proses kelahirannya sulit.

Waktu berlalu hingga anakku berusia 8 tahun. Seperti biasa, aku bangun paling akhir. Suami dan anak - anak sudah menungguku di meja makan. Dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak - anak kesekolah. Sebelum berangkat biasanya suamiku mencium pipiku  saja dan diikuti anak - anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku. Aku berusaha melepaskannya. Ia kembali menciumku beberapa kali, seakan - akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Aku tiba di salon beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu temanku. Kami mengobrol, saat aku ingin membayar, betapa terkejutnya aku ketika menyadari dompetku tertinggal. Aku menelepon suamiku dan bertanya "Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu", katanya dengan lembut. Aku memarahinya dengan kasar. Kututup teleponnya. Tak lama kemudian, handphoneku berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan membentak. "Apalagi??". "Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompetmu dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang dimana?" tanya suamiku. Aku menyebut nama salon dan aku menutup teleponnya. Yang punya salon sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya kalau aku kembali lagi. Tapi aku malu untuk berhutang.

Aku melihat keluar dan berharap suamiku segera sampai. Aku tidak sabar dan menghubungi suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah beberapa kali kutelepon. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Akhirnya telepon diangkat juga. Terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. "Selamat siang bu, Apakah ibu suami Bapak Armandi?" kujawab pertanyaan itu. lelaki itu memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa kerumah sakit. Aku bejongkok dengan bingung. Pegawai salon mendekatiku dan bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. 

Aku pergi kerumah sakit. Seluruh keluarga hadir menyusulku. Akhirnya setelah menunggu, seorang dokter keluar dan menyampaikan berita bahwa suamiku meninggal. Serangan Stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Setelah mendengar kenyataan itu aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan mertuaku. Anak - anak yang terpukul memelukku dengan erat.

Jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku manatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kupandangi wajahnya dengan seksama. Saat itulah dadaku sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama ini. Kuperhatikan wajahnya yang telah dingin yang dulu selalu dihiasi semnyman hangat.  Airmata keluar dari mataku. Akupun berusaha mengusap airmataku yang mengahalangi tatapanku padanya, aku ingin mengingat wajahnya untuk yang terakhir. Dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku tak pernah memperhatikannya. Aku tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan. Hampir seluruh keluargaku tahu bahwa suamiku penggemar mie instant karena aku tak pernah memasak untuknya. Aku tak peduli dia sudah makan atau belum. Ia bisa makan masakanku jika tersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena kantor cukup jauh dari rumah.

Saat pemakaman, aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang tertimbun tanah. Aku terbangun dengan rasa sesal dalam diriku. Keluargaku membujukku sia - sia, karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangannya. Di hari - hari awal kepergiannya, aku duduk memandangi piring kosong. Aku teringat saat suamiku membujuk makan kalau aku sedang ngambek. Saat aku lupa membawa handuk, aku berteriak memanggilnya dan malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Setiap malam aku menunggunya di kamar dan berharap saat aku terbangun ada dirinya disebelahku.

Dulu aku kesal kalau tidur mendengar dengkurannya, tapi sekarang aku sering terbangun karena rindu mendengarnya. Aku kesal karena ia memberantaki kamar, tapi kini aku merasa kamar kami terasa hampa. Aku kesal jika ia melakukan pekerjaan di laptopku tanpa me-logout, sekarang aku memandangi komputer, berharap bekas jarinya masih tertinggal di sana. Aku tidak suka ia membuat kopi tanpa alas, sekarang bekas di sarapan pagi terakhirpun tak mau kuhapus. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari sebenarnya aku mencintainya.

Aku marah karena bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku untuk sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suamiku, meminta ampun karena tak dapat menjadi istri yang baik untuk suamiku yang sempurna.

40 hari setelah kematiannya, kembali rasa bingung merasukiku. Ada 2 anak yang menugguku dan harus kuhidupi. Selama ini aku tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Aku tak pernah perduli berapa uang yang dia miliki. Aku hanya perduli dengan rupiah yang ia transfer ke rekeningku yang kupakai untuk keperluanku. Dari kantornya, aku memperoleh gaji terakhirnya. Sekarang aku harus bekerja untuk anak - anakku.Tapi bekerja apa? Aku tak punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh suamiku.

Kebingungan terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Lalu notaris memberikanku sebuah surat dari suamiku. Yang membuatku tak mampu berkata adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,
Maaf aku meninggalkanmu terlebih dahulu, maaf membuatmu mengurus segalanya sendiri. Maaf aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Mencintaimu adalah hal terbaik yang pernah kulakukan.

Seandainya bisa aku ingin mendampingimu selamanya. Tapi aku tak mau kalian kehilangan kasih dan sayangku begitu saja. Aku tak ingin sayang susah. Tak banyak yang bisa kuberikan tapi aku berharap kamu bisa memanfaatkannya.

Jangan menangis sayangku yang manja. Maafkan kalau aku menyusahkanmu.

Untuk Farah, maaf ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik serperti ibu. Farhan, jagalah Ibu dan Farah. Jangan bandel dan selalu ingat diman pun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke!

Aku terisak membaca surat itu. Notaris memberitahu bahwa suamiku memiliki beberapa usaha yang dimenejerin oleh orang kepercayaannya. Aku menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya padaku, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiriku dengan cinta.

Kini kedua anakku berusia 23 tahun. 2 hari lagi putriku menika. Farah bertanya "Ibu, aku harus bagaimana? Farah kan gak bisa masak dan nyuci, gimana Bu?". Aku merangkulnya sambil berkata "Cinta sayang, cintailah suamimu."

Farah menatapku "Seperti cinta ibu untuk ayah? cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah?". Aku menggeleng "Bukan, Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu. ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang besar kepada ibu".

Aku menghabiskan 10 tahun untuk membencinya, tapi menghabiskan sisa hidupku untuk mencintanya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bebas dari cintanya.


 
Cerpen dari Ria Saraswati
Suara Muhammadiyah edisi 08 tahun 2012
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2011. Cermin Cerpen - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger